Hutang Uang Ada Batasnya, Hutang Istilah Kapan Mengembalikannya?

ilustrasi saja

 “Dia mau pinjam saya duit sebesar 25 juta. Janjinya akan dikembalikan 10 hari lagi! Saya bilang nggak punya. Mau gimana, emangnya nggak ada kok!” Kata seorang teman, menceritakan pengalamannya malam itu, ketika salah seorang kerabatnya berniat hutang kepadanya.

 

Hutang, kemanapun, apakah perorangan, rentenir, ke Bank atau Pegadaian, biasanya ada tenggang waktunya. Perkara tidak ditepati, itu urusan lain. Tapi akad pertama biasanya dikemukakan batas waktunya.

 

Jika tidak ditepati batas waktunya, akan menanggung segala konsekuensinya. Biasanya, yang ini berupa bunga. Atau, membengkaknya jumlah hutang.

 

Begitu juga dengan barang.

 

Di desa-desa, atau kampung, kita sering mendengar di antara kaum ibu rumah tangga umumnya, hutang barang. Gula, beras, pakaian, perhiasan, jilbab, dan lain-lain. Ada yang kembaliannya dalam bentuk duit. Ada pula yang dalam bentuk barang. Kembali lagi, tergantung bagaimana akadnya.

 

Ini bisa saya ceritakan, karena saya juga seperti anda semua. Berpengalaman. Pernah hutang. Dan yang tidak kalah pentingnya lagi adalah, pernah memilkul konsekuensi yang saya sebutkan di atas.

 

Namun, lain lagi dengan, apabila kita mau meminjam istilah. Kita malah nggak bilang sama si empunya. Berapa jumlah istilah atau kata-kata dalam Bahasa Asing yang kita pinjam? Umurnya sudah berabad-abad. Lebih buruk lagi, seolah-olah kita menganggap kata-kata pinjaman tersebut milik kita. Padahal, sama sekali kita tidak punya hak. Apalagi untuk mengubahnya.

 

Kata-kata yang akan saya sebutkan berikut ini adalah saya ungkapkan begitu saja, tanpa membuka kamus. Kata-kata tersebut tentu saja saya ketahui dari pengalaman. Di bangku sekolah, lewat teman, di masyarakat, serta ketika bekerja dan tinggal di luar negeri.

 

Kata-kata yang berasal dari Bahasa inggris misalnya, sangat terasa. Tengok saja: inspirasi, motivasi, film, motif, dedikasi, biologi, teknik, dan lain-lain bahasa pengetahuan serta pendidikan. Bahasa Arab, juga terasa bagi, khususnya mereka yang mengenal sedikit saja bahasanya, misalnya: khas, sabar, silsilah, ahad, senin, selasa, kamis, jumat, khotib, hingga kata-kata lainnya yang kerap digunakan dalam peribadatan tentunya. Semuanya kita ‘pinjam’.

 

Saya kaget, ketika tahu bahwa kata-kata yang kita gunakan sehari-hari di Jawa, ternyata kita pinjam dari India: surya, gerhana, dwi, sri, apem, sebab, hingga semua istilah-istilah yang kita gunakan di dalam sejarah yang mengambil dari Bahasa Sansekerta, mulai dari Pancasila hingga Bhinneka Tunggal Ika. Semuanya ternyata bukan punya kita! Semuanya pinjam!

 

Sesudah saya besar, baru mengerti, ternyata huruf-huruf yang saya ketik di sini yang sedang anda baca, juga bukan milik kita. Teman-teman di luar negeri sana heran, karena kita baca: a, b, c, d, e, mereka membacanya ei, bi, si, di, i.

Lho, yang salah siapa sih? Kayaknya, guru-guru Sejarah kita harus banyak belajar lagi deh tentang materi yang harus mereka ajarkan kepada kita. Agar jelas dan lurus! Ini persoalan hutang. Penting kan?

 

Barangkali itulah ‘keuntungan’ kita dijajah Belanda. Huruf Jawa jadi punah. Bahkan, lebih enak gunakan Huruf Arab yang baku dan tidak tergoncang apalagi terpengaruh sama sekali, hingga sekarang ini.

 

Bangsa-bangsa besar seperti China, India, Rusia, Israel, Jepang serta Arab, bahkan Bangladesh, Nepal atau Srilanka yang kecil-kecil, semuanya memiliki huruf-huruf sendiri yang bisa mereka banggakan.

 

Makanya, jika saat ini hutang negara kita banyak, sebagai warga negara, saya tidak heran. Lha wong kita dari dulu sudah biasa hutang kata-kata yang tidak terhitung jumlahnya.

 

Lagi pula, kata-kata kita gunakan setiap hari, serta tidak pernah ada hasrat untuk mengembalikan kapan.  Usianyapun sudah berabad-abad.

 

Jadi, apalah artinya utang negara besar, hanya dalam bentuk uang, yang bisa dihitung jumlahnya dibanding kata-kata atau istilah yang seambreg jumlahnya serta ratusan tahun sudah usianya?

 

Doha, 3 January 2012

Shardy2@hotmail.com

Leave a comment